elama
tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah
berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak
53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah
meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578
murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi
dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu
perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan
pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang
sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah
masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara
kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan,
b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa,
antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga
muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan
yang telah disebutkan di atas.
Pertama,
pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan
sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the
dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish
sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai
upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan
pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal
menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan
pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan
pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan
lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu
kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam
perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya
harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar